Dari kecil almh. Ibu saya selalu mengajarkan pada anak-anaknya untuk
tumbuh menjadi anak yang berprinsip. Menaikan ego saya dan kakak untuk
tidak menjadi manusia yang lemah. Ibu bilang prinsip itu harus dipegang
sampai kapanpun karena dengan prinsip saya bisa memiliki pemandu dalam
menjalani hidup.
Waktu berlalu, setiap hari ibu selalu membiasakan kami jadi manusia yang istimewa. Kami dituntut menjadi anak baik dan pintar. Nilai-nilai mata pelajaran dan ranking di kelas selalu jadi perhatian utama ibu. Kata ibu, anak-anak ibu adalah anak pintar, jadi kami harus selalu semangat belajar dan jadi juara kelas. Ibu selalu mendampingi ketika kami belajar, meski kadang kami sendiri lelah karena anak seusia saya saat itu masih ingin bermain di luar bersama teman-teman sebaya.
Saya sendiri sekolah SD tidak lengkap. Kenapa bisa demikian? Ibu tidak mendaftarkan saya ke Sekolah Dasar saat teman-teman seusia saya mulai masuk SD. Ibu mengajari saya sendiri di rumah. setiap saya tanya kenapa saya tidak didaftarkan sekolah seperti teman-teman yang lain, ibu selalu bilang karena saya belum bisa naik sepeda sendiri jadi saya harus belajar sepeda sampai bisa dulu baru akan didaftarkan ke SD. Hampir setiap hari saya belajar naik sepeda sendiri, setiap hari pula ibu selalu memberikan banyak buku bacaan untuk mulai saya gunakan untuk belajar membaca. Bukunya macam-macam, mulai dari tiga serangkai hingga buku cerita anak tentang penyakit kusta. Saya suka sekali saat itu, moment ketika ibu menyuruh saya belajar membaca dengan saya yang juga didongengi ibu. Hingga satu tahun kemudian, ibu bilang saya akan didaftarkan ke SD, saya berteriak senang. Saat pendaftaran semua teman-teman saya dites untuk membaca, beberapa dari mereka tidak bisa membaca secara lancar, bahkan ada yang menangis karena takut tidak bisa sekolah. Saya yang memang sudah dibiasakan oleh ibu untuk membaca buku, ketika tes dimulai dengan santai karena ditemani ibu di samping saya bisa membaca dengan lancar. beberapa guru, sempat kaget saat itu. beberapa dari mereka bahkan bertanya berapa usia saya sebenarnya, ketika ibu menjawab saya seharusnya sudah tahun lalu didaftarkan tapi tidak didaftarkan menatap ibu dengan pandangan protes. dan entah bagaimana ceritanya kemudian saya tidak dimasukkan ke kelas satu sebagaimana mestinya anak baru daftar sekolah, namun justru saya langsung masuk di kelas dua.
langsung naik di kelas dua tanpa melalui kelas satu bukan hal yang cukup menyenangkan. ditambah lagi saya tidak banyak mengenal teman-teman baru saya. hanya beberapa yang saya kenal itupun tidak terlalu akrab. saya takut saat itu, ditambah ibu juga sudah pulang. dulu tidak ada anak sekolah yang ditunggu orang tuanya, beda seperti sekarang. Sindrom gugup mulai menyerang, saya mendadak menjadi anak yang ansos dan memilih menyendiri. Ya, sejujurnya saya tidak seberani itu (dulu). Saat itu saya hanya berpikir simple, selama ada ibu di samping saya semua akan baik-baik saja.
Tapi waktu kemudian mengajari saya banyak hal baru, terutama memupuk ego yang sedari awal sudah tertanam dalam diri saya, berkat didikan keras Ibu. Semenjak saya masuk SD ibu memberikan pandangan baru, ibu bilang saya harus jadi anak yang mandiri dan tetap pintar. satu pesan ibu yang tidak pernah berubah, ibu mau saya tetap selalu jadi juara kelas dan jadi selalu yang terbaik. dan seiring waktu saya mulai bisa membaur bersama teman-teman baru, hanya yang benar-benar potensial yang bisa dekat dengan saya. sedikit sombong memang. Tapi kata Ibu saat itu tidak apa-apa selama saya masih bisa juara kelas. naik ke kelas tiga SD, sedikit masalah mulai datang. beberapa teman baru juga mulai bertambah. salah satu dari mereka adalah teman kecil saya, kabarnya saat kami masih balita kami pernah sedekat itu sebelum ia harus pindah karena keluarganya terkena masalah. teman kecil yang berjumpa kembali, sejujurnya saya senang tapi tidak dengan kenyataan yang ada. kami tetap dekat seperti (cerita orang-orang) dulu. Tapi teman kecil saya ini, mulai menggeser peringkat saya di kelas. Ibu sudah mulai waspada dan selalu mengingatkan saya untuk belajar dan belajar. dan ya, jiwa kanak-kanak saya saat itu nyatanya lebih dominan. dan malangnya, nilai dan peringkat saya di sekolah mulai menurun dan tergeser. Ibu murka. Ibu bilang ibu gak suka punya anak pemalas dan bodoh. beberapa hari saya didiamkan. saya mulai takut dan berpikir ibu jahat sekali. tapi sekarang, ketika usia saya sudah cukup matang, saya menyesal pernah berpikir seperti itu. ibu saya tidak pernah punya niat jahat, ia hanya ingin anaknya menjadi yang terbaik. sesimple itu.
ketika menginjak catur wulan ketiga, saya mulai mendengar dari pembicaraan bapak dan ibu kalau ibu sakit. saat itu saya yang masih belum paham apa-apa tidak punya pikiran bahwa penyakit ibu akan parah. meskipun sakit, ibu tidak pernah lupa mengingatkan saya untuk belajar dan jadi yang terbaik. ibu bahkan menjanjikan saya hadiah jika saya bisa kembali jadi juara kelas. saat itu yang saya pikirkan adalah saya akan membuktikan ke ibu kalau saya bisa dan akan mendapatkan hadiah yang dijanjikan ibu. sebuah sepeda baru, itu hadiahnya dulu. setiap hari saya belajar dengan rajin, kadang di dampingi ibu kadang bersma kakak. ibu memang sudah tidak bisa serutin dulu mendampingi saya belajar karena harus beberapa kali menjalankan perawatan dokter. saat itu saya masih belum paham, cenderung cuek, karena yang saya inginkan adalah nilai membaik dan dapat hadiah dari ibu. dan setiap hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha yang sudah dilakukan, ketika penerimaan rapot nilai saya membaik. meskipun belum bisa kembali juara kelas tapi peringkat saya di kelas kembali naik di peringkat dua terbaik. saya sedih saat itu. saya kira ibu akan marah dan hadiah yang dijanjikan tidak akan diberikan. tapi semua pikiran jelek itu tidak terjadi. ibu saya baik, ia memenuhi janjinya. hadiah sepeda baru tetap diberikan pada saya. tapi ibu bilang, sepeda ini harus dijaga baik-baik dan catur wulan depan harus jadi juara kelas. muali saat itu saya semakin rajin belajar, jarang bermain bersama teman-teman sepantaran, dan berubah sedikit egois jika berhubungan dengan pelajaran di sekolah. saya baru akan royal membantu teman saya yang lain dalam pelajaran jika ia adalah teman dekat saya, jika tidak jangan harap saya mau berbagi. saya tidak mau kalah sejak saat itu. di catur wulan terakhir yang juga merupakan catur wulan penentuan kenaikan kelas peringkat saya belum berubah, tetap di peringkat dua terbaik meskipun nilai-nilai saya sudah jauh lebih membaik. saya sedih karena janji itu belum terealisasikan. Ibu tidak lagi menuntut saat itu, mungkin karena ibu juga menahan rasa sakit di tubuhnya. saya mulai paham jika penyakit yang diderita ibu bukan penyakit biasa. sejak saat itu saya takut. saya takut janji saya ke ibu tidak bisa terpenuhi.
naik ke kelas empat, sisi egois saya semakin bertambah. saya sama sekali tidak ingin berbagi apapun terkait pelajaran di sekolah ke teman-teman saya. saya sangat pelit terhadap ilmu yang saya punya. beberapa teman mulai tidak menyukai saya, tapi saya tidak peduli karena saya hanya ingin jadi juara kelas dan memenuhi janji saya ke ibu. catur wulan pertama berakhir akhirnya saya kembali ke peringkat satu yang artinya saya adalah juara kelas. ibu tersenyum bangga meski saat itu saya sudah bisa melihat ibu menahan sakit. tubuh ibu semakin kurus, rambutnya mulai rontok bahkan kepala ibu mulai botak. Penyakit ibu semakin parah, beberapa kali saya melihat bapak sembunyi-sembunyi manangis ketika malam. Di usia saya yang masih sangat kecil saat itu saya bisa merasakan patah hati yang sangat dalam. beberapa kali ibu keluar masuk rumah sakit, di usia saya yang menginjak sembilan tahun, di saat seharusnya saya bisa merakan ulang tahun saya dengan suka cita ibu justru harus kembali masuk rumah sakit. tubuhnya semakin kurus, mukanya pucat dan rambutnya sudah tidak lagi bersahabat, ibu botak. tak berselang lama kondisi ibu semakin menurun, sesak hati saya melihat ibu seperti itu. di saat menahan sakit seperti itu, ibu sempat tersenyum pada saya dan mengajak saya bicara, seakan saat itu adalah pesan terakhir ibu untuk saya. pesan terakhir yang selalu saya pegang sampai sekarang. ibu bilang, "Ibu sama bapak tidak bisa punya pendidikan yang layak. tapi ibu ingin bisa terus sekolah dan jadi orang pintar. kalau ibu bisa sekarang ibu pasti lakukan tapi sekarang ibu tidak bisa, ibu sakit. jadi ibu harap anak-anak ibu yang akan sekolah tinggi dan banggain ibu sama bapak. belajar yang bener dan tetap jadi anak terbaik ibu dan bapak."
begitulah pesan ibu saat itu, siapa yang akan menyangka setelah itu ibu pergi untuk selama-lamanya. meninggalkan saya yang masih kecil ini bersama dua laki-laki yang juga sama patah hatinya.
semenjak kepergian ibu, kehidupan saya berubah total. tidak lagi ada tawa ceria seperti dulu saat ada ibu. semuanya kering dan hambar. ditambah semua orang seakan mulai menatap saya dan kelaurga dengan pandangan antara meremehkan dan kasian. saya benci tatapan orang-orang itu. saya benci direndahkan dan diremehkan seperti itu.
Dari sanalah, saya belajar untuk menantang dunia. saya tidak mau diremehkan apalagi direndahkan. Biar saja saya dibilang egois dan jahat. mereka tidak mengenal saya seperti ibu mengenal saya. saya mulai berjalan lurus di jalan saya. Prinsip hidup yang ditanamkan ibu sedari kecil saya pegang dengan erat. semenjak ibu pergi, nilai-nilai saya selama sisa masa sekolah saya di SD tidak pernah lagi menurun. Setiap pengambilan raport, saya adalah sang juara kelas bertahan. itu janji saya ke ibu. setidaknya saya bisa merealisasikan itu. meskipun ketika mulai masuk SMP semangat saya belajar mulai menurun karena minder dengan teman-teman seangkatan yang merupakan anak-anak pilihan dan anak orang kaya. Tapi meskipun demikian, ego yang sudah saya pupuk lama tetap bersahabat bersama dengan prinsip yang diajarkan ibu. saya tidak mau kalah, tidak mau direndahkan dan tidak akan pernah mau diremehkan. sekali orang meremehkan saya, seribu kali saya akan berusaha untuk kembali bangkit dan menunjukan pada siapapun yang meremehkan saya bahwa saya bisa dan tidk selayaknya saya diremehkan.
Ya. Semenjak ibu pergi, nama tengah saya adalah 'Ego'
Waktu berlalu, setiap hari ibu selalu membiasakan kami jadi manusia yang istimewa. Kami dituntut menjadi anak baik dan pintar. Nilai-nilai mata pelajaran dan ranking di kelas selalu jadi perhatian utama ibu. Kata ibu, anak-anak ibu adalah anak pintar, jadi kami harus selalu semangat belajar dan jadi juara kelas. Ibu selalu mendampingi ketika kami belajar, meski kadang kami sendiri lelah karena anak seusia saya saat itu masih ingin bermain di luar bersama teman-teman sebaya.
Saya sendiri sekolah SD tidak lengkap. Kenapa bisa demikian? Ibu tidak mendaftarkan saya ke Sekolah Dasar saat teman-teman seusia saya mulai masuk SD. Ibu mengajari saya sendiri di rumah. setiap saya tanya kenapa saya tidak didaftarkan sekolah seperti teman-teman yang lain, ibu selalu bilang karena saya belum bisa naik sepeda sendiri jadi saya harus belajar sepeda sampai bisa dulu baru akan didaftarkan ke SD. Hampir setiap hari saya belajar naik sepeda sendiri, setiap hari pula ibu selalu memberikan banyak buku bacaan untuk mulai saya gunakan untuk belajar membaca. Bukunya macam-macam, mulai dari tiga serangkai hingga buku cerita anak tentang penyakit kusta. Saya suka sekali saat itu, moment ketika ibu menyuruh saya belajar membaca dengan saya yang juga didongengi ibu. Hingga satu tahun kemudian, ibu bilang saya akan didaftarkan ke SD, saya berteriak senang. Saat pendaftaran semua teman-teman saya dites untuk membaca, beberapa dari mereka tidak bisa membaca secara lancar, bahkan ada yang menangis karena takut tidak bisa sekolah. Saya yang memang sudah dibiasakan oleh ibu untuk membaca buku, ketika tes dimulai dengan santai karena ditemani ibu di samping saya bisa membaca dengan lancar. beberapa guru, sempat kaget saat itu. beberapa dari mereka bahkan bertanya berapa usia saya sebenarnya, ketika ibu menjawab saya seharusnya sudah tahun lalu didaftarkan tapi tidak didaftarkan menatap ibu dengan pandangan protes. dan entah bagaimana ceritanya kemudian saya tidak dimasukkan ke kelas satu sebagaimana mestinya anak baru daftar sekolah, namun justru saya langsung masuk di kelas dua.
langsung naik di kelas dua tanpa melalui kelas satu bukan hal yang cukup menyenangkan. ditambah lagi saya tidak banyak mengenal teman-teman baru saya. hanya beberapa yang saya kenal itupun tidak terlalu akrab. saya takut saat itu, ditambah ibu juga sudah pulang. dulu tidak ada anak sekolah yang ditunggu orang tuanya, beda seperti sekarang. Sindrom gugup mulai menyerang, saya mendadak menjadi anak yang ansos dan memilih menyendiri. Ya, sejujurnya saya tidak seberani itu (dulu). Saat itu saya hanya berpikir simple, selama ada ibu di samping saya semua akan baik-baik saja.
Tapi waktu kemudian mengajari saya banyak hal baru, terutama memupuk ego yang sedari awal sudah tertanam dalam diri saya, berkat didikan keras Ibu. Semenjak saya masuk SD ibu memberikan pandangan baru, ibu bilang saya harus jadi anak yang mandiri dan tetap pintar. satu pesan ibu yang tidak pernah berubah, ibu mau saya tetap selalu jadi juara kelas dan jadi selalu yang terbaik. dan seiring waktu saya mulai bisa membaur bersama teman-teman baru, hanya yang benar-benar potensial yang bisa dekat dengan saya. sedikit sombong memang. Tapi kata Ibu saat itu tidak apa-apa selama saya masih bisa juara kelas. naik ke kelas tiga SD, sedikit masalah mulai datang. beberapa teman baru juga mulai bertambah. salah satu dari mereka adalah teman kecil saya, kabarnya saat kami masih balita kami pernah sedekat itu sebelum ia harus pindah karena keluarganya terkena masalah. teman kecil yang berjumpa kembali, sejujurnya saya senang tapi tidak dengan kenyataan yang ada. kami tetap dekat seperti (cerita orang-orang) dulu. Tapi teman kecil saya ini, mulai menggeser peringkat saya di kelas. Ibu sudah mulai waspada dan selalu mengingatkan saya untuk belajar dan belajar. dan ya, jiwa kanak-kanak saya saat itu nyatanya lebih dominan. dan malangnya, nilai dan peringkat saya di sekolah mulai menurun dan tergeser. Ibu murka. Ibu bilang ibu gak suka punya anak pemalas dan bodoh. beberapa hari saya didiamkan. saya mulai takut dan berpikir ibu jahat sekali. tapi sekarang, ketika usia saya sudah cukup matang, saya menyesal pernah berpikir seperti itu. ibu saya tidak pernah punya niat jahat, ia hanya ingin anaknya menjadi yang terbaik. sesimple itu.
ketika menginjak catur wulan ketiga, saya mulai mendengar dari pembicaraan bapak dan ibu kalau ibu sakit. saat itu saya yang masih belum paham apa-apa tidak punya pikiran bahwa penyakit ibu akan parah. meskipun sakit, ibu tidak pernah lupa mengingatkan saya untuk belajar dan jadi yang terbaik. ibu bahkan menjanjikan saya hadiah jika saya bisa kembali jadi juara kelas. saat itu yang saya pikirkan adalah saya akan membuktikan ke ibu kalau saya bisa dan akan mendapatkan hadiah yang dijanjikan ibu. sebuah sepeda baru, itu hadiahnya dulu. setiap hari saya belajar dengan rajin, kadang di dampingi ibu kadang bersma kakak. ibu memang sudah tidak bisa serutin dulu mendampingi saya belajar karena harus beberapa kali menjalankan perawatan dokter. saat itu saya masih belum paham, cenderung cuek, karena yang saya inginkan adalah nilai membaik dan dapat hadiah dari ibu. dan setiap hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha yang sudah dilakukan, ketika penerimaan rapot nilai saya membaik. meskipun belum bisa kembali juara kelas tapi peringkat saya di kelas kembali naik di peringkat dua terbaik. saya sedih saat itu. saya kira ibu akan marah dan hadiah yang dijanjikan tidak akan diberikan. tapi semua pikiran jelek itu tidak terjadi. ibu saya baik, ia memenuhi janjinya. hadiah sepeda baru tetap diberikan pada saya. tapi ibu bilang, sepeda ini harus dijaga baik-baik dan catur wulan depan harus jadi juara kelas. muali saat itu saya semakin rajin belajar, jarang bermain bersama teman-teman sepantaran, dan berubah sedikit egois jika berhubungan dengan pelajaran di sekolah. saya baru akan royal membantu teman saya yang lain dalam pelajaran jika ia adalah teman dekat saya, jika tidak jangan harap saya mau berbagi. saya tidak mau kalah sejak saat itu. di catur wulan terakhir yang juga merupakan catur wulan penentuan kenaikan kelas peringkat saya belum berubah, tetap di peringkat dua terbaik meskipun nilai-nilai saya sudah jauh lebih membaik. saya sedih karena janji itu belum terealisasikan. Ibu tidak lagi menuntut saat itu, mungkin karena ibu juga menahan rasa sakit di tubuhnya. saya mulai paham jika penyakit yang diderita ibu bukan penyakit biasa. sejak saat itu saya takut. saya takut janji saya ke ibu tidak bisa terpenuhi.
naik ke kelas empat, sisi egois saya semakin bertambah. saya sama sekali tidak ingin berbagi apapun terkait pelajaran di sekolah ke teman-teman saya. saya sangat pelit terhadap ilmu yang saya punya. beberapa teman mulai tidak menyukai saya, tapi saya tidak peduli karena saya hanya ingin jadi juara kelas dan memenuhi janji saya ke ibu. catur wulan pertama berakhir akhirnya saya kembali ke peringkat satu yang artinya saya adalah juara kelas. ibu tersenyum bangga meski saat itu saya sudah bisa melihat ibu menahan sakit. tubuh ibu semakin kurus, rambutnya mulai rontok bahkan kepala ibu mulai botak. Penyakit ibu semakin parah, beberapa kali saya melihat bapak sembunyi-sembunyi manangis ketika malam. Di usia saya yang masih sangat kecil saat itu saya bisa merasakan patah hati yang sangat dalam. beberapa kali ibu keluar masuk rumah sakit, di usia saya yang menginjak sembilan tahun, di saat seharusnya saya bisa merakan ulang tahun saya dengan suka cita ibu justru harus kembali masuk rumah sakit. tubuhnya semakin kurus, mukanya pucat dan rambutnya sudah tidak lagi bersahabat, ibu botak. tak berselang lama kondisi ibu semakin menurun, sesak hati saya melihat ibu seperti itu. di saat menahan sakit seperti itu, ibu sempat tersenyum pada saya dan mengajak saya bicara, seakan saat itu adalah pesan terakhir ibu untuk saya. pesan terakhir yang selalu saya pegang sampai sekarang. ibu bilang, "Ibu sama bapak tidak bisa punya pendidikan yang layak. tapi ibu ingin bisa terus sekolah dan jadi orang pintar. kalau ibu bisa sekarang ibu pasti lakukan tapi sekarang ibu tidak bisa, ibu sakit. jadi ibu harap anak-anak ibu yang akan sekolah tinggi dan banggain ibu sama bapak. belajar yang bener dan tetap jadi anak terbaik ibu dan bapak."
begitulah pesan ibu saat itu, siapa yang akan menyangka setelah itu ibu pergi untuk selama-lamanya. meninggalkan saya yang masih kecil ini bersama dua laki-laki yang juga sama patah hatinya.
semenjak kepergian ibu, kehidupan saya berubah total. tidak lagi ada tawa ceria seperti dulu saat ada ibu. semuanya kering dan hambar. ditambah semua orang seakan mulai menatap saya dan kelaurga dengan pandangan antara meremehkan dan kasian. saya benci tatapan orang-orang itu. saya benci direndahkan dan diremehkan seperti itu.
Dari sanalah, saya belajar untuk menantang dunia. saya tidak mau diremehkan apalagi direndahkan. Biar saja saya dibilang egois dan jahat. mereka tidak mengenal saya seperti ibu mengenal saya. saya mulai berjalan lurus di jalan saya. Prinsip hidup yang ditanamkan ibu sedari kecil saya pegang dengan erat. semenjak ibu pergi, nilai-nilai saya selama sisa masa sekolah saya di SD tidak pernah lagi menurun. Setiap pengambilan raport, saya adalah sang juara kelas bertahan. itu janji saya ke ibu. setidaknya saya bisa merealisasikan itu. meskipun ketika mulai masuk SMP semangat saya belajar mulai menurun karena minder dengan teman-teman seangkatan yang merupakan anak-anak pilihan dan anak orang kaya. Tapi meskipun demikian, ego yang sudah saya pupuk lama tetap bersahabat bersama dengan prinsip yang diajarkan ibu. saya tidak mau kalah, tidak mau direndahkan dan tidak akan pernah mau diremehkan. sekali orang meremehkan saya, seribu kali saya akan berusaha untuk kembali bangkit dan menunjukan pada siapapun yang meremehkan saya bahwa saya bisa dan tidk selayaknya saya diremehkan.
Ya. Semenjak ibu pergi, nama tengah saya adalah 'Ego'